A. Pendahuluan
Dua kekayaan manusia yang paling utama adalah akal dan budi yang lazim disebut pikiran dan perasaan.
Di satu sisi akal dan budi atau pikiran dan perasaan tersebut telah memungkinkan munculnya tuntutan-tuntutan hidup manusia yang lebih daripada tuntutan-tuntutan hidup manusia yang lebih daripada tuntututan makhluk hidup lain. Bila diteliti jenis maupun ragamnya sangat banyak, namun yang pasti semua itu hanya untuk mencapai kebahagiaan.
Dari sisi akal dan budi memungkinkan munculnya karya-karya manusia yang sampai kapanpun tidak pernah akan dapat dihasilkan oleh makhluk lain. Cipta, karsa dan rasa pada manusia sebagai buah akalnya terus melaju tanpa henti-hentinya berusaha menciptakan benda-benda baru untuk memenuhi hajat hidupnya; baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Dari proses inilah maka lahir apa yang disebut kebudayaan. Jadi kebudayaan hakikatnya tidak lain adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal budi manusia.
Kebudayaan yang dihasilkan oleh olah pikir akal manusia, membawanya kepada kemajuan peradaban sesuai dengan tuntutan zaman dan kebutuhan dalam hidupnya. Namun di sisi lain, kebudayaan yang dihasilkannya merupakan sebuah ancaman bagi kelangsungan hidupnya.
B. Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan = cultuur (bahasa Belanda) = culture (bahasa Inggris) berasal dari perkataan Latin “Colere” yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini berkembanglah arti culture sebagai “segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Dilihat dari sudut bahasa Indonesia, kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “Buddhiyah”, yaitu bentuk jamak dari budhhi yang berarti bdu atau akal.
Dalam studi Antropologi dan sosiologi akan ditemukan sejumlah pengertian kebudayaan yang sering bebeda satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh, Selo Sumarjan dan Sulaiman Sumardi, sebagaimana dikutip oleh Oemar Hamalik merumuskan bahwa kebudayaan adalah hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan; rasa meliputi jiwa manusia yang diwujudkan dalam norma-norma dan nilai-nilai; dan cipta merupakan pikiran orang-orang dalam hidup bermasyarakat.
Menurut Maurice Boyd dan Donald Worcerter, kebudayaan adalah seluruh lingkungan sosial yang dibuat oleh manusia. Dalam arti yang paling sempit, kebudayaan dipandang sebagai unsur-unsur yang abstrak, tidak dapat diamati dengan panca indra dan bersifat nonmaterial seperti cita-cita, kepercayaan, nilai, sikap dan pola kelakukan. Benda-benda material bukanlah kebudayaan, melainkan produksi dari kebudayaan, sepeti teknologi, dan hanya merupakan aspek esensial dari kebudayaan, yaitu sebagai alat untuk menguasai dan mengubah alam kepentingan manusia.
Adapun ahli Antropologi lain memberikan definisi kebudayaan secara sistematis dan ilmiah, seperti E.B. Tylor dalam buku yang berjudul “Primitiver Culture”, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan komplek, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan yang lain serta kebudayaan, serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat.
R. Linton dalam buku “The Cultural Background of Personality”, menyatakan bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku, yang unsur-unsur pembentukannya didukung serta diteruskan oleh anggota masyarakat.
C. Klukhohn dan W.H. Kelly mencoba merumuskan definisi tentang kebudayaan sebagai hasil tanya jawab dengan para ahli antropologi, sejarah; hukum, psychologi yang implisit, explisit, rasional, irasional terdapat pada setiap waktu sebagai pedoman yang potensial bagi tingkah laku manusia.
Prof. Dr. Koentjaraningrat sebagaimana dikutip oleh Djoko Widagdo dkk., mengatakan kebudayaan adalah keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tatakelakuan yang harus didapatkannya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Drs. Sidi Gazalba, mendefinisikan kebudayaan sebagai cara berpikir dan merasa yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan dari segolongan manusia yang membentuk kesatuan sosial dengan suatu ruang dan suatu waktu.
Definisi-definisi di atas kelihatannya berbeda-bedam namun semuanya berprinsip sama, yaitu mengakui adanya ciptaan manusia, meliputi perilaku dan hasil kelakuan manusiam yang diatur oleh tatakelakuan yang diperoleh dengan belajar yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Di dalam masyarakat kebudayaan sering diartikan sebagai the general body of arts, yang meliputi seni sastra, seni musik, seni pahat, seni rupa, pengetahuan filsafat atau bagian-bagian yang indah dari kehidupan manusia. Akhirnya, kesimpulan yang didapat bahwa kebudayaan adalah hasil buah budi manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup. Segala sesuatu yang diciptakan manusia baik yang konkrit maupun yang asbtrak, itulah kebudayaan.
Prof. M.M. Djojodiguno dalam bukunya Asas-asas Sosiologi (1958) mengatakan bahwa kebudayaan “atau budaya” adalah dari budi, yang berupa cita, karsa dan rasa.
Cipta : kerinduan manusia untuk mengetahui rahasia segala hal yang ada dalam pengalamannya, yang meliputi pengalaman lahir dan batin. Hasil cipta berupa berbagai ilmu pengetahuan.
Karsa : kerinduan manusia untuk menginsyafi tentang hal “sangkan paran”. Dari mana manusia sebelum lahir (= sangkan), dan ke mana manusia sesudah mati (= paran). Hasilnya berupa norma-norma keagamaan/ kepercayaan. Timbullah bermacam-macam agama, karena kesimpulan manusia pun bermacam-macam pula.
Rasa : kerinduan manusia akan keindahan, sehingga menimbulkan dorongan untuk menikmati keindahan. Manusia merindukan keindahan dan menolak keburukan/kejelekan. Buah perkembangan rasa ini terjelam dalam bentuk berbagai norma keindahan yang kemudian menghasilkan macam kesenian.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Untuk lebih jelasnya dapat kita rinci sebagai berikut:
1. Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan manusia. Karena itu meliputi:
a. Kebudayaan material (bersifat jasmaniyah), yang meliputi benda-benda ciptaan manusia, misalnya: alat-alat perlengkapan hidup.
b. Kebudayaan non material (bersifat roahniah), yaitu semua hal yang tidak dapat dilihat dan diraba, misalnya: religi, bahasa, ilmu pengetahuan.
2. Kebudayaan itu tidak diwariskan secara generatif (bilogis), melainkan hanya mungkin diperoleh dengan cara belajar.
3. Kebudayaan itu diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Tanpa masyarakat akan sukarlah bagi manusia untuk membentuk kebudayaan. Sebaliknya tanpa kebudayaan tidak mungkin manusia baik secara individual maupun masyarakat, dapat mempertahankan kehidupannya.
4. Jadi kebudayaan itu adalah kebudayaan manusia. Dan hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan, karena yang tidak perlu dibiasakan dengan cara belajar, misalnya tindakan atas dasar naluri (instink), gerak reflek. Sehubungan dengan itu, kita perlu mengetahui perbedaan tingkah laku manusia dengan makhluk lainnya, khususnya hewan.
C. Budaya, Alam dan Manusia
Budaya selalu menawarkan ketegangan-ketegangan tertentu dalam kehidupan manusia. Tanpa adanya ketegangan ini semua manusia tak akan mengalami kemajuan bahkan budaya yang dimilikinya akan mundur. Dalam menghadapi tantangan alam manusia bersikap lain dengan hewan. Jika hewan memergoki sungai, ia besikap ragu-ragu, untuk kemudian berjalan kian kemari mencari tempat yang paling mudah untuk diseberanginya. Adapun manusia meskipun mula-mula juga berbuat demikian, akhirnya membuat jembatan untuk dapat mengatasi halangan sungai itu.
Manusia itu berbudaya, tetapi hewan tidak, memang manusia dapat merasa iri terhadap hewan yang dipimpin oleh nalurinya, sehingga tak perlu menderita ketegangan sebanyak yang didapat oleh manusia. Tata kerja pada hewan serba otomatis dan langkah-langkah dari tindakannya dapat disetel ajeg. Lain halnya pada manusia, tidak dapat secara langsung. Manusia merupakan animal syimbolicam, yaitu makhluk yang penuh dengan lambang. Baginya realitas adalah lebih dari sekedar tumpukkan fakta-fakta.
Di antara alam dan dirinya, manusia menyisipkan sesuatu dan dengan sarana itulah mengambil jarak dari alam sehingga ia mampu menelaah dan mengertinya. Sarana-sarana tersebut antara lain: bahasa, mitos dan agama yang oleh Cassirer dinamakan lambang. Bahasa bekerja begitu banyak dengan lambang, yakni bunyi-bunyian tertentu yang lebih dari kicauan burung atau auman harimau, memiliki makna yakni menunjuk kepada sesuatu.
Seluruh budaya manusia baik primitif maupun modern mengandung lambang, baik yang terdapat pada tanda lamu lalu lintas maupun pada tanda-tanda yang lain. Dalam lambang-lambang dari seluruh budaya manusia itu terletak kebebasan dan keleluasaan manusia. Dengan adanya lambang-lambang tersebut manusia dapat menangkap dan meraih lebih banyak dan lebih luas dari suatu benda terntentu.
D. Budaya Sebagai Sarana Kemajuan dan Sebagai Ancaman bagi Manusia
Budaya memasukkan dunia ke dalam wilayah manusia, lalu menyebabkan dunia menjadi manusiawi. Akibatnya, manusia mengolah tanah, membangun rumah, dan kuil, mempelajari gerakan bintang dan edaran musim. Singkatnya, dunia menjadi halaman gerak manusia. Semua mendorong manusia untuk membuat jarak dengan alam berarti mencaplok alam dalam diri manusia.
Dalam pengalaman sejarah manusia, dikenal pula gejala-gejala kelelahan budaya. Manusia mendambakan kehidupan bangsa primitif yang penuh dengan ritus, adat, dan hiasan. Manusia mulai jemu dengan budaya yang serba melelahkan dan ingin nikmat secara alami. Sekalipun bangsa primitif pun juga memiliki budaya, hal itu tak begitu rumit dan melelahkan manusia. Kadang-kadang orang mengira bahwa semakin maju budayanya, semakin banyak dosa yang dibuat. Sebaliknya, semakit primitif budaya itu, semakin suci.
Rosseau mengajak manusia kembali pada alam (1750). Karena alam merupakan sesuatu yang ideal yang harus semakin didekati dan dicapai oleh manusia.
Dalam dunia modern bermunculan kecenderungan manusia, misalnya kaum hippies dan kaum ala Rendra untuk melarikan diri dari budayanya dan kembali ke alam. Sehubungan itu, Klages menulis, budaya merupakan bahaya bagi manusia sendiri. Peradaban, pabrik asap, udara yang penuh bunyi, kota yang kotor, hutan yang semakin gundul, dan sebagainya, menurut Klages merupakan akibat dari budaya. Klages juga menyimpulkan bahwa manusia memang tak dapat hidup tanpa budaya yang memuat ancaman bagi dirinya sendiri itu, berpikir untuk mengerti dan mengamati tak dapat dilepaskan dari diri, sedangkan hidup secara alami yang penuh dengan berbagai jenis mistik hanya dapat diperoleh di luar bidang keberadaannya sebagai manusia.
Apa yang dikatakan oleh Klages dan beberapa filosof lain memang ada benarnya juga. Dalam budaya kadang termuat kuasa-kuasa yang mengancam dan mampu menyerat manusia ke dalam jurang kerusakan. Freud menunjukkan bahwa segala usaha budaya manusia itu merugikan, karena menurut pandangannya yang vitalitas itu manusia adalah homo natura yang sudah selayaknya mencari kebahagiaannya di dalam alam dunia dan berharap akan bertemu dengan Tuhan.
Menurut Calvin, di dalam alam maupun budaya tersembunyilah bahaya, dalam menelaah alam dan budaya, manusia menemukan unsur dosa melihat di dalamnya. Sambil hidup di dalam budaya manusia pun mengambil jarak dari budaya tersebut. Dengan demikian, seorang Calvinis, yang mengenal dan menjalani askese, tak menarik diri dari alam dunia. Calvin sendiri masih mengakui bahwa seni itu penting bagi kehidupan manusia, tetapi penanganannya harus ditangani dengan cara sederhana saja.
Sehubungan dengan itu, Hoenderdaal menyimpulkan bahwa budaya itu bagaimanapun merupakan bagian dari kehidupan manusia, baik sebagai hal yang berharga sehingga harus dikejarnya, maupun sebagai yang tak berharga sehingga harus dijauhi. Budaya harus kita dekati, tetapi jika kita gegabah memandangnya, hal itu akan mengancam kelestarian kita sendiri. Budaya di samping membawa kemuliaan, juga membawa laknat.
Hoenderdaal menunjukkan bahwa di masa sekarang kita dapat menghayati dua jenis ketidakmanusiawian itu sekaligus. Seorang manusia dengan tata kerja robot dapat sekaligus hidup secara teknik dan etis pula. Untuk berkembangnya ruang hidup yang manusiawi, tak dapat ditempuh jalan yang mengangumkan budayawi saja ataupun yang alami saja. Kedua-duanya harus ditempuh bersama, yakni alam dan budaya di mana budaya itu sendiri tak boleh ditumbuhkan dengan teknik, tetapi harus dihayati dalam cakupan ilmu, etika dan seni.
Sehubungan dengan itu, filosof Perancis Albert Schweizer pernah mengatakan bahwa mengambangkan budaya tanpa etika pasti membawa kehancuran. Oleh sebab itu, dianjurkannya agar kiata memperjuangkan mati-matian unsur etika di dalam mendasari budaya.
E. Penutup
Dari uraian-uraian sebelumnya, maka dapati diketahui bahwa budaya merupakan hasil olah cipta, rasa dan karsa manusia untuk memenuhi hajat dalam kehidupannya. Budaya ada sejak manusia ada di muka bumi ini. Oleh karena budaya didorong oleh hajat kehidupan, maka budaya satu bangsa dengan bangsa lainnya memiliki perbedaan.
Budaya hendaknya mengarahkan dan membawa manusia menuju kepada kemajuan, bukan sebaliknya. Hendaknya pula, budaya menjadi sebuah pendorong kepada kemajuan bukan sebaliknya sebagai ancaman bagi kehidupan. Dengan demikian, perlu diperhatikannya faktor etika dalam budaya tidak sekedar faktor estetika.
DAFTAR BACAAN
Haricahyono, Cheppy. 1989. Ilmu Budaya Dasar. Surabaya: Usaha Nasional.
Mawardi, Drs., Hidayati, Nur, Ir. 2004. Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Budaya Dasar, Ilmu Budaya Dasar: Untuk IAIN, STAIN, PTAIS Semua Fakultas dan Jurusan, Komponen MKU. Bandung: Pustaka Setia.
Mustopo, M. Habib, dkk. 1983. Manusia dan Budaya, Kumplan Essay Ilmu Budaya Dasar. Surabaya: Usaha Nasional.
Widagdho, Djoko, Drs., dkk. t.t. Ilmu Budaya Dasar Untuk Perguruan Mahasisw Tinggi: Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU). Jakarta: Bumi Aksara.
No comments:
Post a Comment